Feature: Pendakian Gunung Lawu Via Candi Cetho
Berbekal pengalaman mendaki Gunung Andong (Juni 2017), dua tahun setelahnya saya mendaki gunung yang lebih tinggi, yaitu Gunung Lawu (Agustus 2019). Saya dan delapan teman saya memilih jalur yang menyajikan panorama dengan pesona yang indah serta kental dengan cerita mistis. Ya, kami memutuskan mendaki gunung tertua di Pulau Jawa ini via Candi Cetho.
Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini menduduki tiga kawasan kabupaten, yakni Karanganyar, Ngawi, dan Magetan. Selain merupakan gunung favorit pendaki, Gunung Lawu juga menjadi tujuan bagi peziarah karena terdapat petilasan Raja Terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V. Jalur pendakian Gunung Lawu tidak hanya Candi Cetho saja, tetapi juga bisa lewat jalur Cemoro Sewu, Cemoro Kandang, dan Jogorogo. Mendaki gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl via Candi Cetho membutuhkan waktu yang lama sekitar 9 jam untuk mencapai puncak sebab jalur Candi Cetho ini merupakan jalur terpanjang diantara jalur lainnya. Pendakian kami dimulai sektar pukul 17.00 dari basecamp Candi Cetho, Gumeng, Jenawi, Karanganyar. Secara singkat, rute yang harus kami lewati yaitu Pos Pendakian – Pos 1 – Pos 2 – Pos 3 – Pos 4 – Pos 5 – Gupak Menjangan – Pasar Dieng – Puncak Hargo Dalem – Puncak Hargo Dumilah. Sebelum melakukan pendakian, tentunya kami melakukan registrasi terlebih dulu di Pos Pendakian dengan mengisi data diri seta membayar uang retribusi sebesar Rp 15.000 per orang.
Diiringi oleh kicauan burung dan semilir angin di sore hari, kami melangkahkan kaki dengan semangat berapi-api. Rute yang kami lewati dari pos pendakian menuju Candi Kethek jalannya masih relatif landai. Jalur menuju Pos 1 berupa jalan setapak dan sedikit menanjak di beberapa bagian. Suguhan pemandangan area perkebunan warga dan juga keindahan lereng Gunung Lawu kami nikmati ketika dari candi Kethek menuju Pos Mbah Branti atau Pos 1. Sebelum sampai di Pos 1 hari sudah mulai menggelap, kami memutuskan berhenti sebentar untuk mengambil senter atau headlamp kemudian melanjutkan perjalanan dengan dibantu alat penerang tersebut. Waktu yang dibutuhkan dari Pos Pendakian menuju Pos 1 yaitu sekitar satu jam. Disana terdapat tanah lapang dengan shelter sederhana untuk tempat istirahat sejenak, menambah stamina dengan meneguk air serta mengeluarkan beberapa cemilan untuk dimakan bersama.
Istirahat dirasa cukup, semangat kembali kami kobarkan dalam melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian selepas dari Pos 1 relatif sama, hanya saja vegetasi hutan semakin rapat. Terdapat pepohanan yang lebih besar dan ilalang yang semakin rimbun di jalur ini. Bisa dikatakan di Pos 2 ini merupakan pintu hutan. Tetapi disini terdapat mata air dengan debit air yang cukup banyak. Tentu, kami memanfaatkan air tersebut dengan mengisikannya pada botol kosong kami. Butuh waktu sekitar kurang lebih 1 jam untuk sampai di Pos 2, yaitu Pos Brakseng. Kami tidak ingin membuang kesempatan untuk istirahat merenggangkan otot di shelter Pos 2. Untuk menuju Pos 3, Pos Cemorodowo membutuhkan stamina yang ekstra kuat sebab jalur ini merupakan jalur yang lebih panjang dibanding jalur sebelumnya. Bahkan disini jalurnya relatif menanjak, sehingga butuh waktu yang lama untuk sampai di Shelter Pos 3, sekitar 1,5 jam lebih.
Usai di shelter Pos 3, kami berharap masih bisa melanjutkan perjalanan sampai Pos 4 dengan rencana mendirikan tenda disana. Di tengah perjalanan menuju Pos 4 yang jalurnya dipenuhi dengan akar-akar pepohonan dan tentu masih relatif menanjak, kami merasa sangat lelah. Hingga akhirnya, kami memutuskan mencari tanah lapang untuk mendirikan tenda di jalur Pos 3. Dengan sisa tenaga, kami mendirikan tenda di tanah lapang yang cukup untuk 2 tenda. Saat itu sekitar pukul 21.30 seusai tenda berdiri tegak, perut yang sudah terasa kosong ini memaksa kami untuk memasak dan membuat minuman untuk menghangatkan diri. Diiringi bincang-bincang singkat setelah itu rasa kantuk mulai menyerbu hingga akhirnya terlelap. Rencana awal bangun pukul 05.00, tetapi karena rasa kantuk yang masih tidak tertahan membuat kami masih berada di tenda. Perjalanan menuju puncak dilanjut sekitar pukul 06.30 dengan perut yang kosong. Meninggalkan barang-barang di tenda, kami menuju Pos 4 yaitu Pos Penggik dengan semangat baru dan di kawal oleh burung gagak. Panoroma keindahan hutan terlihat elok ketika berada di ketinggian Pos Penggik.
Udara pagi yang dingin serta tiupan angin yang kencang mengiringi langkah kami menuju Pos 5 dengan dominasi jalur menanjak serta terdapat jurang yang cukup dalam di sebelah kiri jalan. Namun, perjuangan akan terbayarkan ketika berada di jalur landai berupa sabana. Daerah ini lah yang dinamakan Bulak Peperangan, konon merupakan tempat perang Pasukan Kerajaan Majapahit melawan Pasukan Kerajaan Demak. Berjarak sekitar 700 m, kami sampai di Gupak Menjangan dengan vegetasi pohon pinus dan sabana tidak jauh beda dengan Bulak Peperangan. Di Gupak Menjangan terdapat sebuah telaga musiman, jika datang tepat pada musimnya maka pendaki dapat melihat Sendang Tapak Menjangan yang berisi genangan air. Dari sabana terlihat 2 bukit yang menambah kesan keelokan panorama Sabana Gunung Lawu. Sembari menikmati eloknya pemandangan sabana, kami mengabadikan momen dengan foto berlatar keindahan langit biru yang berpadu apik dengan hijaunya pohon pinus serta rerumputan yang menguning. Selain itu, berfoto dengan latar Bunga Edelweiss yang cantik adalah suatu keharusan bagi saya. Sepuasnya terlena dan berfoto, perjalanan kembali dimulai menuju suatu tempat yang kental dengan aroma mistisnya, sering disebut dengan Pasar Setan.
Melangkah sedikit demi sedikit melintasi bukit yang melingkar, sekitar 50 menit kami sampai di Pasar Dieng atau yang terkenal dengan sebutan Pasar Setan. Konon, beberapa pendaki yang lewat jalur ini sering mendengar suara keramaian seperti di pasar. Di Pasar Dieng terdapat bebatuan yang tidak boleh dipindah karena menyimpan nilai sejarah. Terlepas dari kisah misteri yang sering diperbincangkan, kami mempercepat langkah agar segera sampai di Puncak Hargo Dalem dengan ketinggian 3.170 mdpl, disana terdapat warung makan tertinggi di dunia yaitu warung makan Mbok Yem. Perut keroncongan yang kami rasakan selama perjalanan, akan segera kami isi dengan hidangan khas yang disajikan warung Legendaris tersebut. Sembari melepas lelah, kami menikmati sepiring nasi pecel dengan telur ceplok dan segelas teh hangat. Di Puncak Hargo Dalem terdapat beberapa shelter untuk pendaki yang tidak membawa tenda. Tetapi juga ada shelter khusus untuk pendaki yang hendak menjalankan acara spiritual, sebab Puncak Hargo Dalem ini merupakan tempat pertapaan Prabu Brawijaya V.
Untuk menuju pada Puncak Hargo Dumilah, puncak tertinggi membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan jalur menanjak berupa bebatuan terjal. Butuh pijakan kaki yang tepat dan kuat agar tidak jatuh terpeleset. Pemandangan perbukitan hijau dan lautan awan yang sangat cantik memanjakan mata serta menyejukkan hati. Kekaguman luar biasa terpancar dari senyum dan sorotan mata para pendaki saat memandangi keindahan alam ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Menengok jam di HP yang menunjukkan pukul 13.30, kami memutuskan untuk kembali ke lokasi tempat kami camping. Perjalanan turun membutuhkan waktu yang lebih singkat dari pada saat mendaki. Pukul 18.00 lebih selesai beberes dari Pos 3 kami turun menuju Pos Pendakian. Sembari melapor dan mengambil KTP yang sempat di tinggal di tempat registrasi, kami istirahat sejenak merenggangkan otot. Seusainya, kami kembali berjalan menuju tempat parkir motor, sekitar pukul 22.00 kami pulang ke Solo.
Link Youtube:
Mantap sekali
BalasHapusMakasih infonya kak..
BalasHapusLike, komen
BalasHapus